09 October 2013

Teori Belajar Thorndike


Edward Lee Thorndike dilahirkan tahun 1971-1949. Beliau adalah ahli teori belajar terbesar sepanjang masa. Produktivitasnya tak diragukan lagi. Sampai akhir hayatnya telah membuat 507 buku, monograf dan jurnal. Satu lagi yang sangat inspiratif adalah kebiasaan Thorndike untuk membaca buku dan menelaahnya selama 20 jam sehari sampai usianya 60 tahun.  Karya Thorndike meliputi bidang psikologi pendidikan, perilaku verbal, psikologi komparatif, uji kecerdasan, problem nature-nature, transfer training dan aplikasi pengukuran kuantitatif untuk problem sosiopsikologis.
Teori Thorndike disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Yaitu terbentuknya koneksi atau tautan antara Stimulasi [S] dan Respon [R]. Yang biasa ditulis asosiasi S-R.

Teori belajar Thorndike dikenal dengan “Connectionism” (Slavin, 2000). Connectionism dari kata Connect atau koneksi. Thorndike mengamati adanya koneksi atau hubungan antara stimulus dengan respon untuk mempelajari sesuatu. Konsep Trial-Error Learning berlaku di pengamatan terhadap stimulasi dan respon ini. Proses interaksi antara stimulus dan respon itu adalah proses belajar yang menyebabkan adanya perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku yang terjadi bisa diamati karena berwujud nyata, namun ada juga yang tidak dapat diamati karena berwujud abstrak atau tergantung pada cirri kepribadian. Konsep inilah yang kelak berkembang menjadi teori behavioristik (teori perilaku) pada tema teori pembelajaran.


Pada mulanya, model eksperimen Thorndike yaitu dengan mempergunakan kucing sebagai subjek dalam eksperimennya Dengan konstruksi pintu kurungan yang dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu, maka pintu kurungan akan terbuka dan akhirnya kucing dapat keluar dan mancapai makanan (daging) yang ditempatkan di luar kurungan sebagai hadiah atau daya penarik bagi kucing yang lapar tersebut.
Thordike menafsirkan bahwa “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi kucing itu dapat menyimpan memori tentang respon. Respon yang benar akan diulang, respon yang salah tidak. Eksperimen Thorndike tersebut mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf manusia.

Adapun beberapa ciri – ciri belajat menurut Thorndike, antara lain :
1. Ada motif pendorong aktivitas
2. Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
3. Ada aliminasi respon - respon yang gagal atau salah
4. Ada kemajuan reaksi – reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.

Thorndike mengemukakan bahwa asosiasi antara stimulus dan respons mengikuti hukum-hukum berikut:

Hukum kesiapan
yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh perubahan tingkah laku maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

Hukum latihan
Yaitu semakin sering suatu tingkah laku diulang/dilatih(digunakan) maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.

 Hukum Akibat
Yaitu hubungan stimulus respons cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.

Bagaimana penerapan teori Thorndike dalam sistim pembelajaran?
Sebelumnya diketahui bahwa Thorndike tidak menyukai sistim pengajaran bentuk ceramah di dalam kelas. Karena dalam sistim itu, guru tidak merangsang murid untuk mencari tahu lebih dalam secara mandiri pada materi yang sedang dipelajari. Guru hanya member kesimpulan dan menganggap setiap murid akan menggunakan kesimpulan itu untuk proses belajarnya ke depan atau bahkan untuk mengatasi masalahnya. Bahkan dalam proses ceramah, murid diminta hanya untuk memperhatikan dengan baik, duduk manis. Lalu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, yang mungkin saja bukan pertanyaan yang timbul dari dalam hatinya sendiri. Artinya tidak ada proses belajar dua arah disini. Guru seperti memberikan uang sekehendak hatinya kepada murid, entah murid butuh atau tidak. Hal lain yang menurut Thorndike keliru adalah sebagian besar sarjana yang mengajar, sering menganggap muridnya tahu dengan apapun yang dia katakan. Sementara ada kesenjangan akademis, kognitif dan pengalaman antara guru dan murid.

Oleh karena itu pengajaran yang baik menurut Thorndike adalah :
a.       Penataan kelas harus dengan tujuan pendidikan yang jelas. Guru harus tahu apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan, kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respon. Oleh karena itu tujuan pedidikan harus dirumuskan dengan jelas.
b.      Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik. Dan terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacaam-macam situasi.
c.        Agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
d.      Dalam belajar motivasi tidak begitu penting karena yang terpenting adalah adanya respon yang benar terhadap stimulus.
e.       Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus diberi hadiah dan bila belum baik harus segera diperbaiki.
f.       Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat.
g.      Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
h.      Pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya.
i.        Ujian itu penting, untuk memberikan umpan balik bagi guru dan pembelajar tentang proses belajar
j.        Ujian harus dilakukan secara berkala
k.      Situasi belajar diusahakan semirip mungkin dengan kehidupan nyata. Agar hasil belajar mudah diterapkan.
Teori belajar Thorndike ini kemudian dievaluasi kontribusi dan kritiknya. Secara kontribusi, teori Thorndike dianggap teori yang mempunyai pembahasan eksperimental paling sistematis dalam proses belajar. Fenomena trial and error juga transfer training mendasari munculnya teori behavioris. Sedangkan hal yang perlu dikritisi adalah ternyata dari hasil eksperimen dan penerapannya dalam sistim pembelajaran, unsur pemuas dalam hukum akibat Thorndike itu sifatnya sirkular atau berputar-putar. Ada factor lain yang mempengaruhi apakah pembelajar puas dengan stimulasi tertentu sehingga responnya berbeda dengan yang diharapkan. Selain itu Thorndike tidak memperhatikan factor pemikiran, rencana, strategi dan niat oleh pembelajar sebelum mereka belajar, sehingga pendekatan teori belajara menurut Thorndike dianggap terlalu mekanistik.




1 comment: