18 November 2013

Murid Era Digital Perlu Terampil Dalam 25 Hal

Sudah lazim didengar istilah generasi digital di waktu sekarang ini. Bahkan mungkin berkembang menjadi Generasi Bayi Android. Karena gaung gadget dengan aplikasi android sedang sangat terkenalnya saat ini. Atau disebut juga Generasi Balita Tablet. Tablet adalah istilah umum untuk gadget/smartphone android.

Bagaimana generasi android saat ini, apakah lebih baik daripada generasi di abad lalu atau tidak, bukan inti dari bahasan kita kali ini. Kita terima saja, bahwa perkembangan dunia informasi dan teknologi memang sudah benar-benar merasuk ke strata masyarakat manapun.

Perhatian yang lebih menarik selanjutnya adalah, jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, bagaimana sebaiknya para generasi android ini menyiapkan dirinya. Agar mereka mempunyai kemampuan dan ketrampilan yang optimal sesuai jaman. 

Berikut adalah gambar deskripsi beberapa ketrampilan yang sebaiknya dikuasai oleh para pebelajar di abad 21 ini. 

credit



Tampak bahwa bukan hanya ketrampilan teknologi canggih saja yang penting, melainkan soft skill juga diperhitungkan. Bagaimana pebelajar pandai berimajinasi agar dapat mencipta konsep atau berinovasi. Bagaimana pikiran mereka dan wawasan mereka harus terbuka, bisa bekerjasama atau berkontribusi, peka dan simpati terhadap keadaan lingkungan dan lain sebagainya.

Apakah generasi digital atau generasi android kelak hanya akan menjadi individu yang hanya suka pada monitor tanpa berinteraksi sosial, sepertinya tidak akan seekstrim itu. Efek negatif dari teknologi kepada para pebelajar, bisa diminimalisir sejak dini atau bisa diseimbangkan dengan meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual pebelajar. Sehingga jika di abad selanjutnya teknologi pun berkembang jauh lebih canggih bahkan sampai tanpa satu tombol pun di alat-alat itu, maka para pebelajar kita khususnya masih sadar bahwa mereka tetap adalah manusia yang membutuhkan manusia lainnya. Konsep pendidikan, sekali lagi, memanfaatkan sisi positif dari teknologi dan bukan sisi negatifnya.

Semoga bermanfaat,
Heni PR

01 November 2013

Transisi Model Pembelajaran Mandiri di Universitas ke Sistim Online

Transitioning an independent learning model to
 an on-line environment
 Matthew Mitchell† and Samar Zutshi Swinburne University of Technology
 The Journal of the Education Research Group of Adelaide
 ISSN 1835-6850 Volume 2, Number 3, February 2012 
 Oleh : Heni Prasetyorini 

 Sumber : http://www.adelaide.edu.au/herga/ergo/0203/ergo_v2n3_p33-39.pdf
 [diakses tanggal 10 Oktober 2013] 

Review Jurnal :

 Penelitian dalan jurnal ini tentang transisi atau pengalihan suatu model pembelajaran mandiri ke dalam lingkungan online [jarak jauh]. Di lingkungan kampus, sudah ada model pembelajaran mandiri oleh para mahasiswanya. Setelah mengikuti kelas regular yaitu berinteraksinya dosen [pengajar/mentor] dengan mahasiswa, maka sudah ada system yang menghendaki para mahasiswa untuk belajar mandiri. Belajar mandiri ini tidak selalu harus dilakukan secara individu, tetapi sudah dibiasakan untuk bekerja secara kelompok. Kendala yang selama ini terjadi pada sistim belajar kelompok adalah adanya konflik jika salah satu anggota kelompok tidak bisa dating pada acara diskusi atau pengerjaan proyek. Hal ini menyebabkan tertundanya penyelesaian tugas. Selain itu juga kurang bagusnya manajemen waktu antar mahasiswa sebagai individu ataupun sebagai kelompok. Serta kurang aktifnya peran mahasiswa dalam proses pembelajaran baik di kelas berhadapan dengan dosen, atau di hadapan temannya sendiri. Untuk mengatasi hal ini, dicobalah mengalihkan sistim belajar kelompok di luar kelas/luar kampus itu ke sebuah sistim online. Dengan dasar bahwa melalui sistim online akan terjadi efektivitas waktu, meingkatkan motivasi keaktifan mahasiswa dan mengasah kemampuan manajemen mahasiswa bekerja sebagai individu dan terutama bekerja sebagai kelompok. Seperti halnya elemen pedagogi yang harus dikuasai mahasiswa yaitu bisa mengatur dirinya sendiri, berpikir kritis dan berpikir kreatif. Konsep utama lingkungan online untuk mahasiswa ini adalah mereka harus bekerja dalam kelompok kecil, mengerjakan sebuah tugas bersama dan secara rutin melaporkan perkembangan hasil pekerjaan kelompok kepada mentor untuk mendapatkan umpan balik. Pertemuan para mahasiswa tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui kombinasi struktur synchronous meeting [pertemuan online sinkron seperti chat dan video telekonferensi] dan asynchronous. Beda antara synchronous meeting dan asynchronous meeting digambarkan sebagai berikut :

Intinya, untuk pertemuan synchronous, antar mahasiswa harus online secara serentak dalam satu waktu untuk membahas suatu tugas kelompok. Dan ini tidak dilakukan bersama di dalam kelas, melainkan ketika mereka sudah keluar kampus dan melakukan kegiatan mereka lainnya. Metode ini dilakukan untuk melihat sejauh mana mahasiswa bisa mengatur waktunya dengan baik, sehingga bisa secara bersamaan online dan berdiskusi dengan kelompoknya. Pertemuan online itu kemudian direkam.


Agar pengamatan berjalan mudah, anggota tiap kelompok dibatasi sampai enam orang. Kelompok mengerjakan tugas sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh dosen. Jadi mahasiswa tidak dibiarkan memilih sendiri topic tugas yang diberikan. Hal ini untuk mengefektifkan waktu, karena di masa pembelajaran di kampus sebelumnya, mahasiswa sering menunda pengerjaan tugas karena masih bingung memilih topic yang akan dikerjakan. Dan mereka menundanya sampai batas waktu pengumpulan tugas [deadline].
Hasil pengamatan pengalihan proses pembelajaran mandiri ke sistim online ini adalah mahasiswa masih kurang bisa mengatur waktunya dengan baik. Masih ada anggota kelompok yang tidak online secara bersamaan di waktu yang ditentukan. Sistim kerja kelompok juga belum efektif, karena lebih sering ada pembagian tugas ke anggota kelompok lalu mereka mengerjakan bagian tugasnya sendiri-sendiri untuk kemudian digabungkan menjadi satu.
  
Hal positif lainnya adalah mereka lebih aktif berdiskusi dalam meeting online ini. Mereka lebih leluasa mengeluarkan pendapatnya, daripada di dalam kelas dan dosen meminta mereka untuk berdiskusi. Konsep ini sudah dirancang dari semula untuk memberikan penekanan pada mahasiswa, bahwa aspek social dalam pembelajaran mandiri itu juga penting. Belajar dalam kelompok adalah cara terbaik untuk sistim pembelajaran mandiri dengan melibatkan aspek social.

Sebagai perbaikan adalah perlunya sistim pengaturan kontak, tugas pengujian dan umpan balik yang sedemikian rupa sehingga interaksi kelompok bisa dilakukan dengan optimal walau dalam sistim online. Pengamatan ini dilakukan juga bukan untuk membuat mahasiswa semakin sendirian/individualistic dalam proses belajarnya dan lebih menyukai pertemuan secara maya. Melainkan memberikan cara baru yang bisa mendukung proses pembelajaran mandirinya dengan menekankan pada aspek social dan pengembangan ketrampilan manajemen diri.